Senin, 18 April 2011

SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR'AN


BAB I
PENDAHULUAN


Ad-Dair’aquli di dalam kitab Fawaidnya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Bisyar, (ia berkata): telah menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainah, dari Az-Zuhri, dari ‘Ubaid, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Qubidha annabiyyu saw walam yakun Al-Qur’an jumi’afisyai” (Nabi saw telah diambil (Allah), sedangkan Al-Qur’an belum dikumpulkan pada sesuatu).
Imam Al-Khathabi mengatakan, “Adanya Al-Qur’an yang belum dihimpun oleh Nabi saw di dalam mushaf dikarenakan adanya ayat yang dinantikan, yaitu (ayat-ayat) yang me-nasikh sebagai hukum-hukumnya atau tilawahnya. Tetapi ketika telah selesai (sempurna) turunnya dengan wafatnya Nabi saw maka Allah memberikan ilham kepada Khulafaurrasyidin untuk melakukan itu, sebagai bukti terhadap janji Allah untuk memelihara kitab-Nya pada umat ini. Maka sebagai permulaannya adalah ada ditangan Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Umar bin Khattab.
Adapun riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berkata: Rasulullah saw bersabda, “Laa taktubuu ‘annii syai’an ghairal Qur’an...,” ini tidak bertentangan dengan hal di atas, karena perintah untuk menulis memiliki penulisan secara khusus dengan cara yang khusus pula. Al-Qur’an telah ditulis semuanya pada masa Rasulullah saw, tetapi belum dihimpin dalam satu mushaf dan belum terangkai surat-suratnya secara berurutan.
Imam Al-Hakim di dalam kitabnya, Al-Mustadrak, mengatakan, “Al-Qur’an telah dihimpun (ditulis) dalam tiga tahapan sebagai berikut: Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dan penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan yang akan dibahas pada pembahasan berikut.[1]




BAB II
PEMBAHASAN


A.     Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Rasulullah
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan 19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz), karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.
Adapun wahyu ilahi yang diturunkan sesudah hijrah disebut surat/ayat Madaniyah dan merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasaya panjang lebar dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan juga non Arab dari berbagai bangsa yang telah mulai banyak masuk Islam dan sudah tentu mereka kurang/belum menguasai bahasa Arab. Mengenai isi surat-surat/ayat-ayat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat/umat Islam dan negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.[2]
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.[3]
Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Khuttab al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah itu.[4]
Alat-alat yang mereka gunakan kalau tidak dikatakan primitif masih sangat sederhana. Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelapah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang “jurnalis” wahyu yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah, yaitu Zaid bin Tsabit menuturkan pengalamannya dalam riwayat Al-Bukhari sebagai berikut: “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqa’. Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf  (tulang unta) dan hafalan-hafalan orang”.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang berbunyi:
لاتكتبوا عني غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه (رواه مسلم)  
Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.
Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.[5]
Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.[6]
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:
كنا عند رسول الله نؤلف القران من الرقاع
Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.
Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para ulama bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah swt.
Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”[7]
Untuk memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an Rasulullah menggerakkan kaum muslimin untuk memberantas buta huruf. Berbagai cara dan usaha telah dilakukan Rasulullah dalam hal ini, antara lain sebagai berikut:
1.      Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai menulis dan membaca.
Rasulullah saw bersabda:
يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء
Pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan darah para syuhada.
Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai tulis baca ditempatkan sederajat dengan para pahlawan yang mati syahid di medan pertempuran.
2.      Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf.
3.      Setiap kali ayat-ayat turun, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat dan menyuruh mereka menghafalkannya.[8]
Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
Al-Suyuti mengatakan:
وقد كان القران كتب كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب السور
Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).
2.      Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.[9]
Jadi setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ketika menjelaskan pengertian ayat 16-20 surah Al-Qiyamah, ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah, yaitu:
Pertama, tahap penghimpunan Al-Qur’an dibentuk Rasulullah yakni penghafalan.
Kedua, tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di hadapan Raulullah.
Ketiga, tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini Rasulullah diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.[10]
Suhuf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi dan diperkuat  dengan nasakh-nasakh Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan para sahabat yang hafidz Al-Qur’an yang tidak sedikit jumlahnya, maka semuanya itu dapat menjamin Al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan murni, sesuai dengan janji Allah swt dalam surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya/mengamankannya”.[11]




B.     Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Abu Bakar Al-Siddiq
Al-Qur’an telah selesai diturunkan semuanya pada tanggal 19 Dzulhijjah tahun ke-10 H, yaitu dengan turunnya ayat yang terakhir di Arafah ketika Rasulullah mengerjakan Haji Wada’, kira-kira 81 malam sebelum wafatnya.
Setelah Rasul wafat, timbullah kekacauan di Jazirah Arab, karena beberapa orang dari pemimpin qibalah mengadakan pemberontakan. Mereka berusaha mempengaruhi rakyat supaya turut pula dalam pemberontakan itu. Tujuannya pemberontakan ini bermacam-macam, antara lain:
1.      Karena ingin membebaskan diri mereka dari tuntutan-tuntutan agama Islam.
2.      Di antara mereka ada yang ingin mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Mereka ini adalah Musailamah Al-Kadzdzab dari suku Bani Hanifah di Yamamah, Sajah dari suku Bani Taghlab dan Tamim, Thulaihah ibn Khuwailid dari suku Bani As’ad, dan Al-Aswad Al-Anasi di Yamah.
3.      Orang-orang yang hanya ke luar dari agama Islam tapi tidak mengadakan tindakan-tindakan lain yang bersifat memusuhi Islam dan kaum Muslimin.[12]
Untuk memadamkan pemberontakan ini, maka khalifah Abu Bakar yang baru saja terpilih sesudah wafat Rasulullah, membentuk 11 pasukan tentara yang masing-masing dipimpin oleh seorang amir (panglima), antara lain Khalid ibn Walid. Tapi walaupun demikian tidaklah sedikit korban yang jatuh. 360 orang dari golongan Anshar dan 300 orang dari golongan Muhajirin, termasuk di dalamnya 70 para qurra. Pertempuran di Yamamah ini mencemaskan pemimpin Islam di Madinah, terutama Umar ibn Khattab. Ia khawatir kalau-kalau pertempuran semacam itu terjadi lagi ditempat lain yang mengakibatkan pula gugurnya para qurra. Hal ini akan mengakibatkan habisnya secara berangsur-angsur orang yang hafal Qur’an. Kalau ini benar-benar terjadi demikian, niscaya Al-Qur’an tidak akan lagi terpelihara dengan semestinya. Ini disebabkan karena yang menjadi faktor pertama di masa itu dalam memelihara Al-Qur’an ialah hafalan mereka. Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar supaya mengeluarkan perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an itu. Pada mulanya terjadi perbedaan pendapat, Umar di satu pihak dan Abu Bakar dan Zaid di pihak lain. Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan menugaskan kepada Zaid untuk melaksanakan pengumpulan Al-Qur’an itu. Tugas ini dilaksanakan oleh Zaid dengan sangat teliti.[13]
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:
1.      Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.
2.      Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah/petunjuknya.
Tugas menghimpun Al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih 1 tahun, yakni antara sesudah terjadi perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.[14]
Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu Bakar sendiri.[15]
Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1.      Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2.      Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.
3.      Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.      Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[16]
Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan Al-Qur’an. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentu punya arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bial Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mushhaf adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.[17]

C.    Kodifikasi Al-Qur’an Zaman Khalifah Usman bin Affan
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.[18]
Perbedaan tersebut ialah:
1.      Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing surat itu.
2.      Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.[19]
Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada yang lain:قراءتي أحسن من قراءتك ”Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):
أدرك  الآ مة قبل أن يختلفوا إختلاف اليهود و النصاري
Tertibkanlah umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.[20] Itulah sebabnya, Usman kemudian berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan persengketaan itu.
Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam. Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.[21]
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.
Kepada panitia ini khalifah Usman memberikan patokan-patokan sebagai berikut:
1.      Supaya panita itu berpedoman kepada bacaan orang-orang yang hafal Al-Qur’an, di samping tulisan-tulisan yang ada pada mushhaf Abu Bakar.
2.      Jika terjadi pertikaian, antara panitia itu sendiri tentang bacaan Al-Qur’an, maka panitia hendaklah menuliskannya menurut dealek suku Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan menurut dealek mereka.
Setelah panitia itu selesai mengerjakan tugasnya, maka naskah yang dipinjam dari Hafsah dikembalikan kepadanya. Kemudian Usman memerintahkan untuk mengumpulkan dan membakar semua lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an, selain dari lembaran-lembaran yang ada pada mushhaf, dan naskah-naskah yang baru ditulis oleh panitia. Panitia tersebut menulis sebanyak 5 buah mushhaf. 4 buah di antaranya dikirimkan ke daerah-daerah, yaitu Mekkah, Syiria, Basrah, Kufah, dan yang satu lagi tetap di Madinah untuk khalifah Usman. Inilah yang dinamakan mushhaf Usman atau mushhaf Al-Imam.[22]
Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushhaf lainnya. Ia khawatir, kalau-kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu tetap beredar. Padahal pada mushhaf-mushaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan Al-Qur’an. Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Usman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi persyaratan berikut:
1.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
2.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3.      Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan mushhaf Usman.
4.      Sistem penulisan yang digunakan  mushhaf mampu mencakupi qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ketika turun.
5.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushhaf sebagian sahabat, di mana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan Nasikh-Mansukh.[23]
Adapun manfaat dari usaha penulisan kembali Al-Qur’an di masa khalifah Usman ini, di antaranya:
1.      Kaum muslimin telah dapat disatukan dalam mushhaf-mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
2.      Mereka juga dapat disatukan pada qiraat yang sama yang tidak menyalahi ejaan tulisan pada mushhaf itu,  walaupun setelah wafatnya khalifah Usman sampai sekarang ini masih tetap ada bermacam-macam qiraat, namun qiraat-qiraat itu adalah yang telah diakui kebenarannya dan diriwayatkan dengan mutawatir dari Rasulullah, dan tidak pula berlawanan dengan ejaan tulisan pada mushhaf Usman itu. Adapun qiraat-qiraat yang tidak sesuai dengan ejaan tulisan itu telah dapat dilenyapkan.
3.      Kaum muslimin dapat pula disatukan mengenai susunan surat pada mushhaf-mushhaf mereka. Dengan demikian dapatlah dihindarkan bahaya yang lebih besar, sebab kalau susunan mushhaf itu tidak seragam di mana-mana tentulah akan timbul keragu-raguan pada generasi yang akan datang kemudian tentang kebenaran Al-Qur’an itu.
4.      Dengan adanya 5 buah nushhaf yang resmi itu, maka kaum muslimin telah mempunyai standar yang akan menjadi pedoman mereka dalam membaca, menghafal dan memperbanyak mushhaf-mushhaf Al-Qur’an itu, sehingga penyiaran dan pemeliharaan Al-Quran itu lebih baik dan lebih terjamin keasliannya.[24]

D.    Persamaan dan Perbedaan Proses Kodifikasi
Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar berbeda dengan yang dilakukan oleh Usman. Dari uraian di atas kita dapat membedakan yang dilakukan oleh kedua khalifah itu.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah memindahkan ayat-ayat Al-Qur’an dari pelapah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya adalah karena gugurnya para huffadzh. Sedang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar untuk dikirimkan ke berbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan Al-Qur’an adalah terjadinya perbedaan qiraah dalam membaca Al-Qur’an. Wallahu A’lam Bishshawab.[25]









BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:
1.      Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
2.      Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
3.      Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah  ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.


[1] Imam Suyuthi. Studi Al-Qur’an Komprehensif. (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008) hlm 243-244
[2] Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ulumul Qur’an. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980) hlm 13-14
[3] Ibid.
[4] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007) hlm 47-48
[5] Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) hlm 67-68
[6] A. Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 49
[7] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm 80
[8] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 50-51
[9] Ibid. hlm 53-54
[10] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 62-63
[11] Masjfuk Zuhdi. Loc.cit. hlm 16
[12] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 54-56
[13] Ibid.
[14] Masjfuk Zuhdi. Op.cit. hlm 16-17
[15] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 56-58
[16] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 86
[17] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 69-70
[18] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 89
[19] Chairudji Abd. Chalik. Loc.cit. hlm 60-62
[20] Ibid.
[21] M. Qodirun Nur. Op.cit. hlm 90
[22] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 62-63
[23] Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 76
[24] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 64-65
[25] M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 91-92

1 komentar: