Senin, 18 April 2011

TAKHRIJ HADIST


KEWAJIBAN MENJAGA PANDANGAN DAN LISAN

A.    Pendahuluan
 Islam agama yang sempurna yang mampu memberikan konstribusi terhadap apa yang dibutuhkan oleh manusia baik secara makro maupun secara mikro, ini semua telah terakomodasi dengan baik dalam firman Allah SWT (Al-Qur’an) sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia, di samping itu Allah SWT. menurunkan seorang utusan yaitu Nabi Muhammad SAW. sebagai penterjemah dari kitab Al- Qur’an yang telah diturunkan, melalui hadits-haditsnya.
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya.
Hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist.
Melihat kedudukan hadits yang begitu vital di sisi Al-Qur’an, di samping itu juga kedudukannya dalam Syari’at, yaitu sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, maka Allah SWT memberi wewenang kepada Rasul-Nya untuk menetapkan Syari’at yang tidak terdapat Nash (teks) nya dalam Kitabullah.[1]
Sehingga dapat dikatakan memposisikan hadits secara struktural sebagai sumber ajaran Islam kedua atau secara fungsional sebagai Bayan terhadap Al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan.[2]
Kitab suci Al-Qur’an itu sendiri diturunkan bukan hanya sekedar untuk dibaca, dihapal dan diambil berkahnya, atau hanya menetapkan masalah Tauhid dan Aqidah serta menetapkan Syariat saja, akan tetapi Al-Qur’an datang sebagai pemimpin atau petunjuk bagi penganutnya tentang etika dalam semua perbuatan yang kita lakukan.
Di atas telah dijelaskan bahwa fungsi hadist selain sebagai penjelas juga sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang di dalamnya terdapat teks yang merupakan pelengkap dari teks yang tidak tertulis di dalam al-Qur’an secara jelas. Di antara etika yang harus diikuti dan dilakukan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari adalah bagaimana Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kepada umatnya cara menggunakan semua nikmat yang diberikan oleh Allah Swt, baik nikmat yang berupa batiniah maupun dzahiriah.
Dengan melihat posisi Nabi Muhammad sebagai seorang utusan, tentu segala apa yang telah disandarkan kepadanya diperlukan penelitian yang cukup agar hadits Nabi dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadist berkedudukan sangat penting, yakni:
1.      Hadist sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
2.      Tidaklah semua hadist tertulis pada masa Nabi.
3.      Telah timbul berbagai pemalsuan hadist.
4.      Proses penghimpunan hadist yang memakan waktu lama.
5.      Jumlah kitab hadist yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam.
6.      Telah terjadi periwayatan hadist secara makna.[3]
Kritik Sanad dan Matan adalah merupakan hal yang seharusnya ada dalam penelitian suatu hadits. Kata kritik yang dalam bahasa Arab berasal dari akar kata Naqada, Yanqudu, Naqdan secara bahasa adalah memilih, membedakan.[4] Secara umum mempunyai pengertian meneliti dengan seksama, bentukan fikiran.[5]. Sedangkan menurut ahli hadist bahwa kata Naqada mempunyai pengertian menetapkan status para perawi, baik dengan jalan men-jarh atau men-ta’dil melalui lafadz-lafadz tertentu yang telah diketahui oleh pakarnya serta meneliti matan-matan hadits yang sanadnya shahih untuk ditetapkan keshahihan matannya atau kedho’ifan matannya, sekaligus untuk menghilangkan pertentangan di antara matan-matan hadits itu dengan jalan menetapkan analogi-analogi yang cermat.[6]
Melihat wacana di atas, terdapat adanya suatu indikasi bahwa dua hal yang tercakup di dalam kritik hadits dan takhrij yaitu yang pertama berkaitan dengan Sanad sedangkan yang kedua berkaitan dengan Matan. Untuk itu penulis akan menampilkan sebuah hadits yang terdiri dari beberapa sanad hadist, khususnya dalam penelitian ini ditekankan pada hadist yang menjelaskan tentang menjaga pandangan dan lisan yang terdapat dalam kitab Min Musnad Bani Hasyim Karya Imam Ahmad ibn Hanbal.
Maka dalam makalah yang sederhana ini penulis ingin mencoba mengemukakan hasil penelitian hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana berikut: 
حدثنا و قيع عن سكين عبد العزيز عن أبيه عن ابن عباس أن النبي صلي الله عليه وسلم رأي الفضل بن عباس يلا حظ إمرأة عشية عرفة فقال النبي صلي الله عليه وسلم هكذا بيده علي عين الغلام قال إن هذا يوم من حفظ فيه بصره ولسانه غفر له (رواه احمد)
”Sesungguhnya hari ini adalah hari bagi siapapun yang menjaga pandangan matanya dan lisannya, niscaya akan diberikan ampunan baginya”
Pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : Bagaimana status hadist riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal di atas khususnya dari tinjauan sanadnya? dan kandungan apa yang terdapat di dalamnya ?
      Untuk memperjelas pembahasan permasalahan tersebut makalah ini akan menguraikan sub-sub bahasan : Takhrij hadist, Skema sanad, Kritik sanad, Hukum hadist, Fiqh hadist dan Pesan umum hadist.

B.     Takhrij Hadist
Dalam mencari matan hadist tersebut pada awalnya penulis mencoba untuk menggunakan metode takhrij yang keempat, yaitu berdasarkan tema hadist (بناء على موضوع الحديث). Dengan metode yang keempat ini penulis temukan hadist tersebut pada kitab Sunan Imam Ahmad  ibn Hanbal dalam   كتاب ومن مسند بني هاشم باب باقي المسند السبق hadis nomor : 3179.

C.    Skema Sanad
Setelah dilakukan takhrij terhadap hadist riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal tersebut, maka di sini perlu penulis paparkan skema sanad sehingga nampak jelas jalur sanad, nama-nama perawi, pertemuan masing-masing perawi, dan shighat tahammul yang digunakan mereka. Skema tersebut dapat dilihat di bawah ini:
أن النبي صلي الله عليه وسلم رأي الفضل بن عباس يلا حظ إمرأة عشية عرفة فقال النبي صلي الله عليه وسلم هكذا بيده علي عين الغلام قال إن هذا يوم من حفظ فيه بصره ولسانه غفر له
قال
عبد الله بن عباس بن عبد المطلب بن هشام
عن
عن
سكين عبد العزيز بن قيس
 

Skema tersebut dapat dilihat di bawah ini



احمد بن حنبل






ن حنبل
حدثنا
عبد العزيز بن قيس
وقيع بن الجراح
عن

                          




















D.    Kritik Sanad
Sebagaimana yang terlihat pada skema hadist di atas bahwa hadist tentang kewajiban menjaga pandangan dan lisan sanadnya terdiri dari empat orang yang masing-masing identitasnya dapat dilihat di bawah ini :

1.      Waki’ Ibn Al-Jarrah
Nama lengkapnya adalah Waki’ ibn Al-Jarrah ibn Malik al Ru’asi yang juga memiliki gelar Abu Sufyan Al-Kufi.[7] Ia lahir dan dibesarkan di Kufah, dan meninggal pada tahun 196 H.[8]
Waki’ adalah ulama yang memiliki guru yang berjumlah kurang lebih 215 orang dan 82 orang murid. Di antara sekian jumlah orang yang meriwayatkan hadist kepadanya tercatat nama Aban ibn Sham’ah, Ibrahim ibn Fadhil, Idris ibn Yazid, Ismail ibn Abi Khalid dan Sukaini ibn Abdul Aziz ibn Qais. Sedangkan diantara muridnya (yang meriwayatkan hadist darinya) tersebutlah nama Ahmad ibn Hanbal, Al-Husain ibn Harist, Hafsh ibn Umar dan Sulaiman ibn Daud.[9]
Pernyataan kritikus hadist terhadap Waki ibn Al-Jarrah antara lain:
a.       Ahmad ibn Hanbal  :ما رايت أو عي للعلم ولا أحفظ منه
b.      Yahya ibn Mu’in   :ما رأيت أحفظ منه
c.       Al-‘Ajli : ثقة من حفاظ الحديث
d.      Ya’qub ibn Syaiban :  حافظ
e.       Muhammad ibn Sa’ad : ثقة مأ مون حجة
f.       Ibnu Hibban : حافظ متقن
Tidak ditemukan pernyataan kritikus hadist yang mencerca pribadi Waki’ ibn Al-Jarrah, bahkan dari data di atas dapat diketahui bahwa Waki’ ibn Al-Jarrah adalah seorang tokoh hadist yang terpercaya dan sangat baik hafalannya (Tsiqah Hafidz). Dengan demikian pernyataan bahwa dia telah menerima hadist dari Sukaini ibn Abdul Aziz ibn Qais dengan shighah tahammul عن adalah dapat dipercaya. Hal ini menunjukkan pula bahwa sanad antara Waki’ ibn Al-Jarrah dengan Sukaini ibn Abdul Aziz ibn Qais adalah bersambung.

2.      Sukaini Ibn Abdul Aziz
Nama lengkapnya adalah Sukaini ibn Abdul Aziz ibn Qais. Dalam periwayatan hadist, Sukaini ibn Abdul Aziz menerima hadist dari gurunya yang berjumlah 6 orang yakni : Ibrahim ibn Muslim, ‘Ats’ats ibn Abdullah ibn Jabir, Sayyar ibn Salamah, Yazid ibn Abdullah ibn Qasith, Hafsh ibn Khalid ibn Jabir dan Abdul Aziz ibn Qais yakni ayahnya.
Adapun para perawi yang meriwayatkan hadist darinya berjumlah 5 orang yaitu : Al-Hasan ibn Musa, Sulaiman ibn Daud ibn Al-Jarud, Abdul Wahid ibn Washil, Affan ibn Muslim ibn Abdullah dan Waki’ ibn Al-Jarrah ibn Malih.
Para kritikus hadist yang menilai pribadi Sukaini ibn Abdul Aziz  adalah :
a.       Yahya ibn Mu’in :ثقة  
b.      Abu Hatim Ar-Razi : لا بأس به
Tidak ditemukan pernyataan kritikus hadist yang mencerca pribadi Sukaini ibn Abdul Aziz, bahkan dari data di atas dapat diketahui bahwa Sukaini ibn Abdul Aziz berkepribadian yang terpuji dan terpercaya. Dengan demikian pernyataan bahwa dia menerima hadist dari ِAbdul Aziz ibn Qais dengan shighah tahammul عن adalah dapat dipercaya. Hal ini menunjukkan pula bahwa sanad antara Sukaini ibn Abdul Aziz  dengan Abdul Aziz ibn Qais adalah bersambung.

3.      Abdul Aziz Ibn Qais
Namanya Abdul Aziz ibn Qais. Dalam meriwayatkan hadis dia berguru kepada dua orang perawi hadist yaitu Anas ibn Malik ibn An-Nadhar ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram dan Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim. Sedangkan murid hanya seorang yakni Sukaini ibn Abdul Aziz ibn  Qais (anaknya).
Para kritikus hadist yang menilai keperibadian Abdul Aziz ibn Qais antara lain :
a.       Ibnu Hibban  : ذ كره في الثقات
b.      Abu Hatim Ar-Razi : مجهول
Tidak ditemukan pernyataan kritikus hadist yang mencerca kepribadian Abdul Aziz ibn Qais, bahkan dari data di atas dapat diketahui bahwa Abdul Aziz ibn Qais adalah seorang tokoh hadist yang pribadinya terpuji dan terpercaya. Dengan demikian pernyataan bahwa dia telah menerima hadist dari Ibnu Abbas dengan sighat tahammul عن adalah dapat dipercaya. Hal ini menunjukkan pula bahwa sanad antara Abdul Aziz ibn Qais dengan Ibnu Abbas adalah bersambung.

4.      Ibn ‘Abbas
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hisyam ibn Abdul Manaf al-Quraisy, terkenal dengan sebutan Ibn ‘Abbas. Ibunya adalah Ummu Fadhil Lubabah al-Kubra bint Haris al-Hilaliyah, saudara kandung Maimunah istri Nabi Saw.[10] Ibn ‘Abbas lahir di Marwa Ar-Raudz dan tempat wafatnya Thaif pada tahun 68 H.[11]
Ketika Rasulullah wafat, beliau baru berusia 13 tahun atau 15 tahun. Oleh karena itu beliau di kategorikan sebagai sahabat muda dan salah seorang sahabat yang paling lama hidupnya setelah Rasulullah wafat. Tidak heran jika Ibn ‘Abbas sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist. Beliau meriwayatkan hadist sebanyak 1. 660 hadist. Imam Bukhari dan Muslim bersama-sama meriwayatkan hadist darinya sebanyak 95 hadis. Bukhari sendiri meriwayatkan sebanyak 29 hadist dan Muslim sendiri meriwayatkan 49 hadist.
Ibn ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Saw, Al-Fadhil ibn Al-‘Abbas. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman ibn Auf, Mu’adz ibn Jabal,  dan lain sebagainya sebanyak 41 orang sahabat yang terlampir di dalam Kutubut Tis’ah. Adapun sahabat yang meriwayatkan hadist darinya sebanyak 224 orang di antaranya Abdul Aziz ibn Qais, Anas, Abdullah ibn Umar dan Abu Thufail.[12]
Mengenai kritikus hadist yang menilai kepribadian Ibn “Abbas ini yang penulis temukan adalah dari sahabat bahwa beliau adalah orang yang adil dan terpercaya.
Dari data yang penulis peroleh tidak ditemukan adanya kritikus hadist yang mencerca kepribadian Ibn ‘Abbas, bahkan terlihat pada kutipan di atas bahwa Ibn ‘Abbas termasuk perawi yang terpercaya dan langsung bertemu dengan Nabi Saw. Dengan demikian maka hadist di atas dapat dipercaya dan diyakini kebenarannya.
Selanjutnya, agar nampak jelas jalur sanad hadist tersebut perlu penulis paparkan dalam tabel berikut :
No
N a m a
Wafat
Kritikus
Bobot
1
Waki’ ibn Al-Jarrah
169 H
1.      Ahmad ibn Hanbal

2.      Yahya ibn Mu’in
3.      Al-‘Ajli
4.      Ya’qub ibn Syaibah
5.      Muhammad ibn Sa’ad
6.      Ibnu Hibban
ما رايت أو عي للعلم ولا أحفظ منه
ما رأيت أحفظ منه
ثقة من حفاظ الحديث
حافظ
ثقة مأ مون حجة

حافظ متقن
2
Sukaini ibn Abdul Aziz
__
1.      Yahya ibn Mu’in
2.      Abu Hatim Ar-Razi
ثقة
لا بأس به
3
Abdul Aziz ibn Qais
__
1.      Ibnu Hibban
2.      Abu Hatim Ar-Razi
ذ كره في الثقات ثقة مجهول
4
Ibn ‘Abbas
68 H
__
Dari sahabat bahwa beliau termasuk orang yang adil dan terpercaya

E.     Hukum Hadist
Berdasarkan penelitian mengenai sanad hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal tersebut dapat diketahui bahwa seluruh perawi adalah orang-orang yang dapat dipercaya dan sanadnya bersambung. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sanad hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad ibn Hanbal tersebut adalah shahih lidzatihi.

F.     Kritik Matan Hadist
Di atas telah dijelaskan bahwa Islam agama yang sempurna yang mampu memberikan konstribusi terhadap apa yang dibutuhkan oleh manusia baik secara makro maupun secara mikro, di antaranya adalah sesuatu yang berhubungan dengan akhlak kita sehari-hari yaitu tentang menjaga pandangan mata dan lisan, yang di dalamnya dikaji tentang manfaat menjaganya dan bahayanya jika tidak menjaganya.
Maka, jika hadist di atas dilihat dari segi maknanya akan nampak bahwa hadist tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dalam surah An-Nuur: 30 yang berbunyi sebagaimana berikut:
@è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºsŒ 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ    
Katakanlah kepada orang-orang mu’min laki-laki hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya, karena yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. (An Nuur: 30)
Ayat ini turun saat Nabi Saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?” Beliau Saw menjawab, “Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka”.
Ayat tersebut memerintahkan menundukkan sebagian pandangan dengan menggunakan min tetapi dalam hal menjaga kemaluan, Allah tidak mengatakan wa yahfadhu min furujihim (dan menjaga sebagian kemaluan) seperti halnya dalam menundukkan pandangan yang dikatakan di situ yaghudh-dhu min absharihim. Ini berarti kemaluan itu harus dijaga seluruhnya tidak ada apa yang disebut toleransi sedikitpun. Berbeda dengan masalah pandangan yang Allah masih memberi kelonggaran walaupun sedikit, guna mengurangi kesulitan dan melindungi kemasalahatan, Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan tundukkanlah sebagian suaramu (Luqman: 19).
ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ  
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Di sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara. ini pun berkaitan dengan hadits zinanya mata, hati, lisan, yang dibenarkan oleh kemaluan. Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu menjaga pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi dan mengarah kepada zina mata (yang nanti hadits2 saling berhubungan), seperti asbabun nuzulnya Fadl bin Abbas berlama-lama memandang wanita.[13]

G.    Fiqih Hadist
Jika dicermati lebih dalam makna hadist tentang kewajiban menjaga pandangan dan lisan tersebut mengandung muatan hukum sebagai berikut :
1.      Menjaga pandangan dari hal-hal yang di haramkan oleh Allah dan menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang tidak baik  adalah wajib.
2.      Pandangan dan lisan merupakan bagiannya dari zina, yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya. “Zinanya mata adalah melihat (sesuatu), zinanya lisan adalah mengucapkan (sesuatu), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (sesuatu), sedangkan alat kelamin membenarkan atau mendustakan itu (semua). … (HR Bukhari & Muslim)”

H.    Pesan Umum Hadist
Menjaga pandangan mata dari memandang hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik merupakan akhlak yang mulia, bahkan Rasulullah menjamin masuk surga bagi orang-orang yang salah satu dari sifat-sifat mereka dalah menjaga pandangan. Abu Umamah berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُكْفُلُوا لِي بِسِتٍ أَكْفُلْ لَكُمْ بِالْجَنَّةِ, إِذَا حَدَّثَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَكْذِبْ, وَ إِذَا اؤْتُمِنَ فَلاَ  يَخُنْ, وَ إِذَا وَعَدَ فَلاَ يُخْلِفْ, غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ, وَكُفُّوْا أَيْدِيَكُمْ, وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ
Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka janganlah berdusta, dan jika diberi amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah menyelisihinya, dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian.
Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu.
Oleh karena itu pesan Rasulullah kepada Ali: “Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi) Rasulullah Saw menganggap pandangan liar (kalau liar pasti dengan syahwat) dan menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata.
Seperti juga perkataan Iman Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Hendaklah orang yang berakal itu waspada dari sikap mengobral pandangan. Sesungguhnya mata, ketika melihat seseorang yang oleh syariat dilarang untuk digauli dan dicampuri, mata akan menilainya sebagai sesuatu yang paling indah, paling baik, paling sesuai dan paling utama dari sesuatu yang halal dan baik baginya. Berapa banyak pandangan yang membuat pelakunya menjadi gelisah.” (al-Furuu’).
Menundukkan pandangan mengandung rahasia hikmah yang banyak, diantaranya ia adalah perintah Allah, melaksanakannya berarti membawa kebahagiaan, mencegah pengaruh negatif akibat pandangan yang berbisa, menghidupkan ketabahan dan memberi ketenangan jiwa, Menjadikan hati bercahaya, pelakunya akan memiliki ketajaman firasat, menutup pintu-pintu gangguan syaithan, bahwa antara mata dan hati saling mempengaruhi.
Untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina lidah’, kita juga menggunakan kaidah “tundukkan tutur-kata”. Maksudnya, ketika lawan-jenis yang menyimak tutur-katamu terpesona pada ke-sexy-an suara kita keraskan suara atau hentikan sajalah tutur-kata.
uä!$|¡ÏY»tƒ ÄcÓÉ<¨Z9$# ¨ûäøó¡s9 7tnr'Ÿ2 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4 ÈbÎ) ¨ûäøøs)¨?$# Ÿxsù z`÷èŸÒøƒrB ÉAöqs)ø9$$Î/ yìyJôÜuŠsù Ï%©!$# Îû ¾ÏmÎ7ù=s% ÖÚttB z`ù=è%ur Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÌËÈ  
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Dan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
Janganlah kau terlalu lembut bicara supaya (lawan-jenis) yang lemah hatinya tidak bangkit nafsu (syahwat)-nya.”
“Katakanlah yang baik-baik atau diam sajalah.” (Al-Hadits)

I.       Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Hadis tentang kewajiban menjaga pandangan dan lisan tersebut diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan sanadnya bersambung. Oleh karena itu hadis tersebut dihukumi shohih lidzatihi.
2.      Kandungan hadis tersebut antara lain bahwa bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan wajib untuk menjaga pandangan dan lisan dari hal-hal yang diharamkan Allah.










DAFTAR PUSTAKA

Ad-Bimasyq, Ibnu Hamzah. Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits Rasul, ter. Suwarta Wijaya Salim. (Jakarta: Kalam Mulia, 2000) hal. XXXII.

Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi. (Jakarta: Renaisan, 2005).

Al-Jawabi, Muhammad Akhir. Juhud Al-Muhadditsin Fi Naqd Matan Al-Hadits An-Nabawi As-Syarif, Muassasat Abdul Karim Abdullah.

Bustamin. Metodologi Kritik Matan.  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

CD. Program Kutubut Tis’ah. (Yogyakarta: CV. Aditya Media bekerjasama dengan Lembaga Kajian Al-Qur’an  dan Sains (LKQS) UIN Maliki Malang, 2009).

Mansur, Muhammad Ibnu Mukarom Ibnu.  Lisan Al-Arab.  (Beirut: Dar Lisan Al-Arab Juz III).

Soetari Ad, Endang. Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008).

Sumber: Fatwa Kontemporer Syaikh Yusuf Qardhawi Kebebasan Wanita : Abu Syuqqah Ulama spesialis hati dan percintaan ,Ibnul Qayyim Al Jauziyah : Taman Orang Jatuh Cinta,Jangan Dekati Zina. (0nline) (http://Mbah Google.com, di akses: 01 Januari 2011
Sumbulah, Umu. Kritik Hadist Pendekatan Historis Metodologis. (Malang: UIN-Malang Press, 2008).

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990).



[1] Ibnu Hamzah Ad-Bimasyq. Asbabul Wurud: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits Rasul, ter. Suwarta Wijaya Salim. (Jakarta: Kalam Mulia, 2000) hal. XXXII.
[2] Bustamin. Metodologi Kritik Matan.  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 2
[3] Arifuddin Ahmad. Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi. (Jakarta: Renaisan, 2005), hal 17.
[4] Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), hal 424.
[5] Muhammad Ibnu Mukarom Ibnu Mansur.  Lisan Al-Arab.  (Beirut: Dar Lisan Al-Arab Juz III), 700.
[6] Muhammad Akhir Al-Jawabi. Juhud Al-Muhadditsin Fi Naqd Matan Al-Hadits An-Nabawi As-Syarif, Muassasat Abdul Karim Abdullah, Hal. 94
[7] Umu Sumbulah. Kritik Hadist Pendekatan Historis Metodologis. (Malang: UIN-Malang Press, 2008) hal. 136
[8] CD. Program Kutubut Tis’ah. (Yogyakarta: CV. Aditya Media bekerjasama dengan Lembaga Kajian Al-Qur’an  dan Sains (LKQS) UIN Maliki Malang, 2009)
[9] Ibid
[10] Endang Soetari Ad. Ilmu Hadist Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008) hal. 230-231.
[11] CD. Kutubut Tis’ah. Op.cit.
[12] Ibid. hal 231
[13]Sumber: Fatwa Kontemporer Syaikh Yusuf Qardhawi Kebebasan Wanita : Abu Syuqqah Ulama spesialis hati dan percintaan ,Ibnul Qayyim Al Jauziyah : Taman Orang Jatuh Cinta,Jangan Dekati Zina. (0nline) (http://Mbah Google.com, di akses: 01 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar